Jadi untuk mengurangi dampak pemanasan global, tanamlah pohon agar CO2 nya dapat dimanfaatkan oleh pohon. Karena nilai wajar dari CO2 adalah 0,1% di bumi ini, tetapi tahun 2010 ini kadar CO2 di atmosfer bumi sudah mencapai 0,3%.
Jadi jawaban yang benar adalah Plankton, khususnya adalah Fitoplankton. Plankton didefinisikan sebagai organisme hanyut apapun yang hidup dalam zona pelagik (bagian atas) samudera, laut, dan badan air tawar.
Secara luas plankton dianggap sebagai salah satu organisme terpenting di dunia, karena menjadi bekal makanan untuk kehidupan akuatik.
Bagi kebanyakan makhluk laut, plankton adalah makanan utama mereka. Plankton terdiri dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan laut. Ukurannya kecil saja. Walaupun termasuk sejenis benda hidup, plankton tidak mempunyai kekuatan untuk melawan arus, air pasang atau angin yang menghanyutkannya.
Plankton hidup di pesisir pantai di mana ia mendapat bekal garam mineral dan cahaya matahari yang mencukupi. Ini penting untuk memungkinkannya terus hidup.
Mengingat plankton menjadi makanan ikan, tidak mengherankan bila ikan banyak terdapat di pesisir pantai. Itulah sebabnya kegiatan menangkap ikan aktif dijalankan di kawasan itu.
Selain sisa-sisa hewan, plankton juga tercipta dari tumbuhan. Jika dilihat menggunakan mikroskop, unsur tumbuhan alga dapat dilihat pada plankton. Beberapa makhluk laut yang memakan plankton adalah seperti batu karang, kerang, dan ikan paus.
Plankton adalah organisme yang menyumbang 80% kebutuhan oksigen yang ada di bumi ini.
Dengan kemampuannya berespisari menghasilkan gelembung-gelembung oksigen yang terdapat di dalam laut, oksigen tersebut terlepas ke udara dan menjadi gas yang bisa kita nikmati sekarang.
Para ilmuwan dari Amerika Serikat menemukan plankton secara tidak langsung dapat membuat awan yang dapat menahan sebagian sinar matahari yang merugikan. Sehingga plankton bisa membantu memperlambat proses pemanasan bumi.
Dierdre Toole dari Institusi Oceanografi Woods Hole (WHOI) dan David Siegel dari Universitas California, Santa Barbara (UCSB) adalah dua peneliti itu.
Penelitian yang dibiayai oleh NASA tersebut mengungkapkan ketika matahari menyinari lautan, lapisan atas laut (sekitar 25 meter dari permukaan laut) memanas, dan menyebabkan perbedaan suhu yang cukup tinggi dengan lapisan laut di bawahnya. Lapisan atas dan bawah tersebut terpisah dan tidak saling tercampur.
Plankton hidup di lapisan atas, tapi nutrisi yang diperlukan oleh plankton terdapat lebih banyak di lapisan bawah laut. Karenanya, plankton mengalami malnutrisi.
Akibat kondisi malnutrisi ditambah dengan suhu air yang panas, plankton mengalami stress sehingga lebih rentan terhadap sinar ultraviolet yang dapat merusaknya.
Karena rentan terhadap sinar ultraviolet, plankton mencoba melindungi diri dengan menghasilkan zat dimethylsulfoniopropionate (DMSP) yang berfungsi untuk menguatkan dinding sel mereka.
Zat ini jika terurai ke air akan menjadi zat dimethylsulfide (DMS). DMS kemudian terlepas dengan sendirinya dari permukaan laut ke udara.
Di atmosfer, DMS bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk sejenis komponen sulfur. Komponen sulfur DMS itu kemudian saling melekat dan membentuk partikel kecil seperti debu. Partikel-partikel kecil tersebut kemudian memudahkan uap air dari laut untuk berkondensasi dan membentuk awan.
Jadi, secara tidak langsung, plankton membantu menciptakan awan. Awan yang terbentuk menyebabkan semakin sedikit sinar ultraviolet yang mencapai permukaan laut, sehingga plankton pun terbebas dari gangguan sinar ultraviolet.
Proses ini sebenarnya telah beberapa tahun dipelajari di laboratorium oleh para ilmuwan, namun proses alamiahnya baru kali ini dapat dipelajari.
Awan yang disebabkan oleh plankton ini, dipercaya dapat memperlambat proses pemanasan bumi, serta memiliki efek besar tehadap iklim bumi. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, masih harus dilakukan penelitian lanjutan yang seksama.
Penelitian yang dilakukan di Laut Sargasso, lepas pantai Bermuda ini juga menemukan secara mengejutkan bahwa partikel DMS ini dapat terurai dengan sendirinya di udara setelah tiga sampai lima hari saja. Padahal, karbondioksida di udara, dapat bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.
Karena penguraian alamiah DMS sangat cepat, DMS tidak akan menimbulkan efek rumah kaca, tidak seperti karbondioksida.
Jadi bersyukurlah karena mereka kita masih bisa menghirup udara dengan bebas untuk kelangausngan hidup. Lalu yang terpenting dan terutama, bersyukurlah karena Tuhan mu telah menciptakan mereka.
- 10 kota tertua di dunia
- 6 perairan paling rawan perompak didunia
- 10bangunan megah yang di bangun di dalam air
- siapakah penyumbang oksigen untuk bumi
- 8 penyakit yang susah di obati
- melihat taman deosai pakistan
- 10 hidung paling terkenal di dunia
- bukti pertarungan brutal zaman perunggu
- topeng kematian
- kolektor2 gila
- air terjun terindah di dunia
- fenomena alam yang luar biasa
- 11 pekerjaan paling aneh di dunia
- alasan mengapa pelangi melengkung
- 5 makanan penurun nafsu makan
- hantaman meteor ter gila dalam sejarah
- rumah sekaligus lapangan skateboard
- kereta tercepat didunia
- fenomena air terjun mengeluarkan darah
- 10 cuaca paling aneh di dunia
- top10 rumah termahal di dunia
- 10 penyakit yang memalukan
- sejarah gempa bumi abad 20 dan21
- kisah nyata peraih nobel yang ternyata gila
- kota hantu di suriah
- 10 kesalahpahaman tentang sains
- kendaraan unik tahun 70an
- 7 cara menghilangkan jerawat
- mengenal jenis jenis shotgun
- daftar film indo dengan cerita plagiant
- 6 keuntungan tidur telanjang
- 10 pesawat militer paling mahal di dunia
- mafia-mafia paling ganas di dunia
- 10 monument paling mengagumkan di dunia
- blue ice fenomena
- 5 senjata kimia paling berbahaya
- efek negatif dari kurang tidur
0 komentar:
Posting Komentar